Wednesday, March 28, 2012

mencoba belajar (tugas hukum investasi)

Analisis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21,22/PUU-V/2007 dan Pidato Moh. Hatta dikaitkan dengan keberhasilan investasi di Indonesia tidak bergantung pada Peraturan Perundang-Undangan.

Investasi merupakan salah satu cara untuk mendapatkan tambahan modal secara langsung maupun tidak langsung. Investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri akan membantu meningkatkan perekonomian suatu Negara. Investasi di Indonesia didasarkan pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Pasal 33 UUD yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Memberikan kewenangan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk mengolah sumber daya alam (SDA) yang ada di Indonesia demi kemakmuran rakyat, baik dilakukan sendiri oleh pemerintah maupun diberikan kesempatan kepada pemilik modal (investor). Wakil Presiden pertama di Indonesia sekaligus konseptor UUD 1945 Mohammad Hatta menafsirkan Pasal 33 tersebut pada sebuah pertemuan dengan wakil-wakil organisasi rakyat di gedung Sono Suko di Solo pada tahun 1951 yang mengatakan:[1]
“Untuk membangun Negara kita, kita tidak mempunyai capital, karena itu kita pakai capital asing untuk kepentingan kita, kita anti kapitalisme, tetapi tidak anti capital. Kita juga tidak segan-segan memakai tenaga bangsa asing, karena kita memang kekurangan tenaga ahli. Mereka itu kita bayar, menurut ukuran pembayaran internasional yang memang tinggi, jika dibandingkan dengan pembayaran kepada tenaga-tenaga ahli kita. Hal ini jangan diirikan, karena mereka itu tidak mempunyai kewajiban kepada Negara kita, sedang kita mempunyai kewajiban terhadap Negara dan bangsa….
Adapun sementara golongan dalam masyarakat kita yang khawatir, bahwa dengan memakai capital asing itu, kita akan jatuh kembali ke dalam penjajahan, demikian hatta selanjutnya. Terhadap mereka itu Bung Hatta katakana, bahwa mereka itu masih dihinggapi oleh restan-restan zaman kolonial yang minderwaardigheids complex dari zaman kolonial dahulu. Sebagai bangsa yang telah merdeka, kita harus mempunyai kepercayaan atas diri kita sendiri.”

Mohammad Hatta dalam pidatonya pada Hari Koperasi 12 Juli 1977 mengulangi kembali pengertian Pasal 33 UUD 1945 dengan mengatakan antara lain:[2]
“Dikuasai oleh Negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tidak berarti Negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ondeernemer. Lebih tepatnya dikatakan bahwa kekuasaan Negara terhadap ppada membuat peraturan guna melancarkan jalan ekonomi…
Cita-cita yang tertanam dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ialah produksi yang sebesar-besarnya sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh pemerintah dengan bantuan capital pinjaman dari luar. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanam modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan oleh pemerintah. Pokoknya modal asing yang bekerja di Indonesia itu membuka kesempatan bekerja bagi pekerja Indonesia sendiri. Daripada mereka hidup menganggur, lebih baik mereka bekerja dengan jaminan hidup yang cukup. Cara begitulah dahulu kita memikirkan betapa melaksanakan pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD 1945. Kemudian diberi kesempatan kepada golongan swasta untuk menyerahkan pekerjaan dan capital nasional. Apabila tenaga nasional dan capital tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing dan capital asing untuk melancarkan produksi…”
Mahkamah Konstitusi menafsirkan Pasal 33 UUD 1945 telah memberikan mandate kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelenmdaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh Negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concenssie). Fungsi pengaturan oleh Negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalio mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/ayau melalui keterlibatan langsung melalui manajemen Badan Usaha MIlik Negara (BUMN) atau Badan Hukum MIlik Negara sebagai instrument kelembagaan melalui mana Negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh Negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh Negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[3]
Investasi di Indonesia selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya disebut UU PM). UU PM mengatur tentang prinsip-prinsip penanaman modal sesuai aturan General Agreement of Tariff and Trade (GATT) namun tetap memperhatikan kedaulatan Negara. Dalam Pasal 33 UUD 1945 disebutkan bahwa semua dilakukan untuk kemakmuran rakyat, namun menurut Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Daipin dkk dalam UU PM terdapat beberapa pasal kurang sesuai dengan tujuan tersebut. Maka dari itu, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Daipin dkk mengajukan permohonan judicial review terhadap beberapa pasal dalam UU PM. Pada tanggal 25 Maret 2008. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21,22/PUU-V/2007 atas judicial review terhadap:[4]
1.    Perkara No. 21/PUU-VI/2008: Pasal 2, Pasal 3 Ayat (2), Pasal 4 Ayat (2), Pasal 8 Ayat (1), Pasal 10 Ayat (2), Pasal 12 Ayat (1), Pasal 18 Ayat (4) dan Pasal 22 bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), Pasal 33 Ayat (2) dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.
2.    Perkara No. 22/PUU-VI/2008: Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3\ ayat (4), dan ayat (5), Pasal 12 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 H ayat (2), Pasal 33 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945.
Pada putusannya, hakim Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan sebagian permohonan tersebut. Yaitu Pasal 22 ayat (1), (2) dan (4) tentang jangka waktu hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU) dan hak pakai (HP). Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, HGB bisa diberikan jumlah 95 tahun dengan cara diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbaharui 35 tahun. Untuk HGU bisa diberikan jumlah 80 tahun dengan cara diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 tahun dan dapat diperbaharui 30 tahun, dan HP bisa diberikan jumlah 70 tahun dengan cara diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 tahun dan dapat diperbaharui 25 tahun. Putusan MK membatalkan kata “di muka sekaligus” dan “berupa”, sehingga hak yang diterima atas tanah merupakan hak pokoknya dan kemudian dapat diperpanjang sesuai aturan setelah jangka waktu tersebut habis.
Keberhasilan penanaman modal bergantung kepada dua hal yaitu faktor peraturan perundang-undangan dan faktor lain di luar undang-undang. Faktor peraturan perundangan merupakan dasar dari adanya kepastian hukum bagi penanam modal, sedangkan faktor lainnya merupakan faktor penunjang penanaman modal seperti:[5]
-       Infrastruktur
-       Insentif Pajak
-       Birokrasi dan Perizinan
-       Tenaga Kerja
-       Stabilitas Ekonomi
-       Pangsa Pasar
-       Ketersediaan Lahan
-       Penyediaan Energi
-       Dan faktor lainnya.
Menurut penulis, penanaman modal tidak bertentangan dengan peraturan perundangan di Indonesia. Pada pidato bung Hatta telah diggambarkan bahwa pendiri Indonesia di masa awal kemerdekaannya telah memikirkan bahwa setiap Negara membutuhkan bantuan Negara lain untuk lebih berkembang. Kekurangan modal dapat diatasi dengan membuka kesempatan Negara yang kelebihan modal untuk menanamkan modalnya tanpa mengurangi kedaulatan Negara tersebut. Pengertian Pasal 33 UUD 1945 yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi juga memberikan gambaran bahwa penanaman modal tetap dilakukan bersama-sama anatara penanam modal dengan pemerintah melalui BUMN dan Badan Hukum MIlik Negara. Penanaman modal keberhasilan penanaman modal bisa dilakukan dengan baik ketika Negara bisa mengakomodir kepentingan penanam modal dan masyarakat. Penanam modal sebagai pelaku usaha tentunya akan melakukan segala hal untuk mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya, namun di sisi lain masyarakat bisa saja dirugikan dengan kemungkinan perusakan lingkungan, kecilnya pendapatan yang didapatkan dengan target perusahaan yang tinggi. Hal ini tentunya akan sulit untuk diserahkan sepenuhnya kepada Negara. Penanam modal harus menjalankan usahanya dengan itikad baik dan menjalankan sesuai kebudayaan masyarakat setempat. Dengan melakukan kegiatan Corporate Sosial Responsibility (CSR) yang tepat guna ke masyarakat merupakan salah satu cara efektif untuk menunjang keberhasilan penanaman modal. CSR merupakan salah satu cara pendekatan dari perusahaan agar masyarakat sekitar juga merasa memiliki dan kemudian ikut menjaga agar keberlangsungan perusahaan penanam modal terus berjalan.


[1] “Wakil Presiden Hatta: Kita Anti Kapiltasisme, tapi tidak anti capital……”, Pedoman, Rabu 19 September 1951 disadur dari artikel Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UUD 1945.
[2] Mohammad Hatta, “Cita-CIta Koperasi dalam Pasal 33 UUD 1945”, Pidato di Hari Koperasi 12 Juli 1977 dalam Sri-Edi Swasono (Ed.), SIstem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, (Jakarta: UI Press, 1987), Hal . 17-19, disadur dari artikel Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UUD 1945.
[3] Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 001/021-0022/PUU-I/2003 disadur dari artikel Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UUD 1945.
[5] Presentasi Kelompok 1 dalam Mata Kuliah Investasi dan Pasar Modal.

No comments:

Post a Comment