Wednesday, March 28, 2012

mencoba belajar (tugas hukum investasi)

Analisis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21,22/PUU-V/2007 dan Pidato Moh. Hatta dikaitkan dengan keberhasilan investasi di Indonesia tidak bergantung pada Peraturan Perundang-Undangan.

Investasi merupakan salah satu cara untuk mendapatkan tambahan modal secara langsung maupun tidak langsung. Investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri akan membantu meningkatkan perekonomian suatu Negara. Investasi di Indonesia didasarkan pada Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Pasal 33 UUD yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Memberikan kewenangan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk mengolah sumber daya alam (SDA) yang ada di Indonesia demi kemakmuran rakyat, baik dilakukan sendiri oleh pemerintah maupun diberikan kesempatan kepada pemilik modal (investor). Wakil Presiden pertama di Indonesia sekaligus konseptor UUD 1945 Mohammad Hatta menafsirkan Pasal 33 tersebut pada sebuah pertemuan dengan wakil-wakil organisasi rakyat di gedung Sono Suko di Solo pada tahun 1951 yang mengatakan:[1]
“Untuk membangun Negara kita, kita tidak mempunyai capital, karena itu kita pakai capital asing untuk kepentingan kita, kita anti kapitalisme, tetapi tidak anti capital. Kita juga tidak segan-segan memakai tenaga bangsa asing, karena kita memang kekurangan tenaga ahli. Mereka itu kita bayar, menurut ukuran pembayaran internasional yang memang tinggi, jika dibandingkan dengan pembayaran kepada tenaga-tenaga ahli kita. Hal ini jangan diirikan, karena mereka itu tidak mempunyai kewajiban kepada Negara kita, sedang kita mempunyai kewajiban terhadap Negara dan bangsa….
Adapun sementara golongan dalam masyarakat kita yang khawatir, bahwa dengan memakai capital asing itu, kita akan jatuh kembali ke dalam penjajahan, demikian hatta selanjutnya. Terhadap mereka itu Bung Hatta katakana, bahwa mereka itu masih dihinggapi oleh restan-restan zaman kolonial yang minderwaardigheids complex dari zaman kolonial dahulu. Sebagai bangsa yang telah merdeka, kita harus mempunyai kepercayaan atas diri kita sendiri.”

Mohammad Hatta dalam pidatonya pada Hari Koperasi 12 Juli 1977 mengulangi kembali pengertian Pasal 33 UUD 1945 dengan mengatakan antara lain:[2]
“Dikuasai oleh Negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tidak berarti Negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ondeernemer. Lebih tepatnya dikatakan bahwa kekuasaan Negara terhadap ppada membuat peraturan guna melancarkan jalan ekonomi…
Cita-cita yang tertanam dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 ialah produksi yang sebesar-besarnya sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh pemerintah dengan bantuan capital pinjaman dari luar. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanam modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan oleh pemerintah. Pokoknya modal asing yang bekerja di Indonesia itu membuka kesempatan bekerja bagi pekerja Indonesia sendiri. Daripada mereka hidup menganggur, lebih baik mereka bekerja dengan jaminan hidup yang cukup. Cara begitulah dahulu kita memikirkan betapa melaksanakan pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD 1945. Kemudian diberi kesempatan kepada golongan swasta untuk menyerahkan pekerjaan dan capital nasional. Apabila tenaga nasional dan capital tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing dan capital asing untuk melancarkan produksi…”
Mahkamah Konstitusi menafsirkan Pasal 33 UUD 1945 telah memberikan mandate kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelenmdaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh Negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concenssie). Fungsi pengaturan oleh Negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalio mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/ayau melalui keterlibatan langsung melalui manajemen Badan Usaha MIlik Negara (BUMN) atau Badan Hukum MIlik Negara sebagai instrument kelembagaan melalui mana Negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh Negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh Negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[3]
Investasi di Indonesia selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya disebut UU PM). UU PM mengatur tentang prinsip-prinsip penanaman modal sesuai aturan General Agreement of Tariff and Trade (GATT) namun tetap memperhatikan kedaulatan Negara. Dalam Pasal 33 UUD 1945 disebutkan bahwa semua dilakukan untuk kemakmuran rakyat, namun menurut Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Daipin dkk dalam UU PM terdapat beberapa pasal kurang sesuai dengan tujuan tersebut. Maka dari itu, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Daipin dkk mengajukan permohonan judicial review terhadap beberapa pasal dalam UU PM. Pada tanggal 25 Maret 2008. Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21,22/PUU-V/2007 atas judicial review terhadap:[4]
1.    Perkara No. 21/PUU-VI/2008: Pasal 2, Pasal 3 Ayat (2), Pasal 4 Ayat (2), Pasal 8 Ayat (1), Pasal 10 Ayat (2), Pasal 12 Ayat (1), Pasal 18 Ayat (4) dan Pasal 22 bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28C Ayat (2), Pasal 33 Ayat (2) dan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945.
2.    Perkara No. 22/PUU-VI/2008: Pasal 4 ayat (2) huruf a, Pasal 8 ayat (1), ayat (2), ayat (3\ ayat (4), dan ayat (5), Pasal 12 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28 H ayat (2), Pasal 33 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945.
Pada putusannya, hakim Mahkamah Konstitusi hanya mengabulkan sebagian permohonan tersebut. Yaitu Pasal 22 ayat (1), (2) dan (4) tentang jangka waktu hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU) dan hak pakai (HP). Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, HGB bisa diberikan jumlah 95 tahun dengan cara diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbaharui 35 tahun. Untuk HGU bisa diberikan jumlah 80 tahun dengan cara diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 tahun dan dapat diperbaharui 30 tahun, dan HP bisa diberikan jumlah 70 tahun dengan cara diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 tahun dan dapat diperbaharui 25 tahun. Putusan MK membatalkan kata “di muka sekaligus” dan “berupa”, sehingga hak yang diterima atas tanah merupakan hak pokoknya dan kemudian dapat diperpanjang sesuai aturan setelah jangka waktu tersebut habis.
Keberhasilan penanaman modal bergantung kepada dua hal yaitu faktor peraturan perundang-undangan dan faktor lain di luar undang-undang. Faktor peraturan perundangan merupakan dasar dari adanya kepastian hukum bagi penanam modal, sedangkan faktor lainnya merupakan faktor penunjang penanaman modal seperti:[5]
-       Infrastruktur
-       Insentif Pajak
-       Birokrasi dan Perizinan
-       Tenaga Kerja
-       Stabilitas Ekonomi
-       Pangsa Pasar
-       Ketersediaan Lahan
-       Penyediaan Energi
-       Dan faktor lainnya.
Menurut penulis, penanaman modal tidak bertentangan dengan peraturan perundangan di Indonesia. Pada pidato bung Hatta telah diggambarkan bahwa pendiri Indonesia di masa awal kemerdekaannya telah memikirkan bahwa setiap Negara membutuhkan bantuan Negara lain untuk lebih berkembang. Kekurangan modal dapat diatasi dengan membuka kesempatan Negara yang kelebihan modal untuk menanamkan modalnya tanpa mengurangi kedaulatan Negara tersebut. Pengertian Pasal 33 UUD 1945 yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi juga memberikan gambaran bahwa penanaman modal tetap dilakukan bersama-sama anatara penanam modal dengan pemerintah melalui BUMN dan Badan Hukum MIlik Negara. Penanaman modal keberhasilan penanaman modal bisa dilakukan dengan baik ketika Negara bisa mengakomodir kepentingan penanam modal dan masyarakat. Penanam modal sebagai pelaku usaha tentunya akan melakukan segala hal untuk mendapatkan keuntungan setinggi-tingginya, namun di sisi lain masyarakat bisa saja dirugikan dengan kemungkinan perusakan lingkungan, kecilnya pendapatan yang didapatkan dengan target perusahaan yang tinggi. Hal ini tentunya akan sulit untuk diserahkan sepenuhnya kepada Negara. Penanam modal harus menjalankan usahanya dengan itikad baik dan menjalankan sesuai kebudayaan masyarakat setempat. Dengan melakukan kegiatan Corporate Sosial Responsibility (CSR) yang tepat guna ke masyarakat merupakan salah satu cara efektif untuk menunjang keberhasilan penanaman modal. CSR merupakan salah satu cara pendekatan dari perusahaan agar masyarakat sekitar juga merasa memiliki dan kemudian ikut menjaga agar keberlangsungan perusahaan penanam modal terus berjalan.


[1] “Wakil Presiden Hatta: Kita Anti Kapiltasisme, tapi tidak anti capital……”, Pedoman, Rabu 19 September 1951 disadur dari artikel Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UUD 1945.
[2] Mohammad Hatta, “Cita-CIta Koperasi dalam Pasal 33 UUD 1945”, Pidato di Hari Koperasi 12 Juli 1977 dalam Sri-Edi Swasono (Ed.), SIstem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, (Jakarta: UI Press, 1987), Hal . 17-19, disadur dari artikel Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UUD 1945.
[3] Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 001/021-0022/PUU-I/2003 disadur dari artikel Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UUD 1945.
[5] Presentasi Kelompok 1 dalam Mata Kuliah Investasi dan Pasar Modal.

mencoba belajar (tugas hukum investasi)

HUKUM INVESTASI DAN PASAR MODAL
Analisa terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (selanjutnya disebut UU PM) antara lain:
1.     Hanya mengatur tentang Foreign Direct Investment bukan Porto folio Investment.
UU PM mengatur penanaman modal secara langsung (Foreign Direct Investment). Hal ini terlihat dari pengertian penanaman modal menurut Pasal 1 nomor (1): “Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.”  Dari pengertian diatas kita lihat lagi pengertian modal yang diatur dalam Pasal 1 nomor (7): “Modal adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai ekonomis.” Menurut saya dari pengertian tersebut bisa kita tarik kesimpulan bahwa pelaksanaan penanaman modal menurut UU PM merupakan penanaman modal langsung dari penanam modal yang dipertegas dengan kata “menanam modal” dimana penanam modal ikut serta dalam proses manajemen perusahaan tersebut sedangkan dalam Porto Folio Investment atau financial asset investment (investasi  di sektor keuangan)[1] adalah komitmen untuk mengikatkan asset pada surat-suratberharga (sekuritas) yang diterbitkan oleh penerbitnya. Porto Folio Investment merupakan proses investasi yang dilakukan oleh penanam modal yang tidak tertarik untuk ikut serta dalam manajemen perusahaan tersebut.[2]
2.     Menganut prinsip Most Favored Nation (selanjutnya disebut MFN).
MFN adalah setiap konsesi terbaik yang dibuat oleh suatu negara untuk Negara lain harus segera diberi segera diberi tanpa syarat kepada semua penanda tangan GATT, dengan kata lain, perlakuan MFN adalah hak dari semua penanda tangan. Ini adalah asas nondiskriminasi sebagai salah satu tonggak GATT, kekecualian ada, tetapi di atur dalam GATT.[3] MFN tertuang dalam Pasal 3 ayat (1) UU PMA: “Penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas: d. perlakukan yang sama dan tidak membedakan asal negara;” dan Pasal 6 ayat (1) UU PMA: “Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Contoh pelaksanaan MFN adalah ketika Negara A diberikan tarif masuk sebesar Rp. Xx maka Negara B yang merupakan anggota GATT harus mendapatkan tariff masuk sebesar Rp. Xx juga.
3.     Untuk penanaman modal asing dan dalam negeri, menganut prinsip National Treatment (Pasal 4 ayat (2) huruf a).
Prinsip National Treatment dalam UU PM tertuang pada Pasal 4 ayat (2) huruf a yang berbunyi: “Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah: a. memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.” Pasal ini bermakna ketika penanam modal (anggota GATT) telah masuk dan berinvestasi di Indonesia, maka Pemerintah Indonesia harus memperlakukan penanam modal tersebut layaknya penanam modal dalam negeri.
4.     Nasionalisasi mungkin dilakukan bila diatur oleh undang-undang dengan ganti rugi yang wajar.
Prinsip anti nasionalisasi ini dibuat untuk memberikan rasa aman dan kepastian hukum bagi penanam modal yang ingin berinvestasi di Indonesia. Hal ini diatur dalam Pasal 7 yang berbunyi:
“(1) Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang.
(2) Dalam hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar.
(3) Jika diantara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase.”
Pemerintah Indonesia mengatur tentang nasionalisasi ini bertujuan untuk membuat iklim investasi menjadi stabil. Walaupun ada kemungkinan nasinalisasi pemerintah Indonesia akan memberikan kompensasi yang wajar. Jaminan tidak akan ada nasionalisasi kecuali dengan kompensasi yang prompt, adequate and effective.[4] Hal ini diharapkan dapat mendorong penanam modal asing untuk melakukan investasi di Indonesia tanpa ketakutan nasionalisasi.
5.     Ketenagakerjaan.
Pasal 10 UU PM mengatur tentang ketenagakerjaan bagi penanam modal yang menanamkan modalnya di Indonesia. Pasal ini berbunyi:
“(1) Perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia.
(2) Perusahaan penanaman modal berhak menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang -undangan.
(3) Perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga Negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dari pasal diatas bisa disimpulkan bahwa penanam modal wajib melakukan:
a.     Mengutamakan perekrutan tenaga kerja WNI.
b.    WNA bisa digunakan sebagai tenaga ahli sesuai jabatan dan keahlian.
c.     Wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja WNI .
d.    Adanya transfer teknologi (transfer knowledge) dari tenaga ahli WNA ke tenaga kerja WNI.
6.     Proyek-proyek investasi yang dibolehkan atau diprioritaskan atau tidak dibolehkan
Penanaman modal yang dilakukan di Indonesia tidak dapat dilakukan di semua bidang usaha, Pasal 12 menyebutkan bahwa:
(1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.
(2) Bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing adalah :
a.     produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan
b.     bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.
(3) Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya.
(4) Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden.
(5) Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.”
Pasal 13 juga mengatur tentang pembatasan proyek investasi, yang berbunyi:
“(1) Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan
koperasi.
(2) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi melalui program kemitraan, peningkatan
daya saing, pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar, serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya.”
Untuk pengaturan lebih lanjut dari Pasal 12 ayat (4) dan Pasal 13 ayat (1) tentang kriteria dan persyaratan bidang usaha yang boleh dimasuki oleh penanam modal diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 yang pada tahun 2010 dicabut dan diganti Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
Perpres ini mengatur tentang bidang usaha yang:
a.     Tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal, yaitu: budidaya ganja; penangkapan spesies ikan yang tercantum dalam CITES, pemanfaatkan koral/karang dari alam untuk bahan bangunan/kapur/kalsium dan souvenir/perhiasan, serta koral hidup atau koral mati dari alam; industri minuman mengandung alcohol; industri pembuat Chlor Alkali dengan proses merkuri, industri bahan kimia yang dapat merusak lingkungan (halon dan lainnya sertaPenta Chlorophenol, Dichloro Diphenyl Trichloro Elhane (DDT), Dieldrin, Chlordane, Carbon Tetra Chloride,Methyl Chloroform, Methyl Bromide, Chloro Fluoro Carbon (CFC); Industri Bahan Kimia Schedule 1 Konvensi Senjata Kimia (Sarin, Soman, Tabun Mustard, Levisite, Ricine, Saxitoxin, VX, DLL); Penyediaan dan Penyelenggaraan Terminal Darat, Penyelenggaraan dan Pengoperasian Jembatan Timbang, Penyelenggaraan Pengujian Tipe Kendaraan Bermotor, Penyelenggaraan Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor, Telekomunikasi/Sarana Bantu Navigasi Pelayaran, Vessel Traffic Information System (VTIS), Jasa Pemanduan Lalu Lintas Udara; Manajemen dan Penyelenggaraan Stasiun Monitoring Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit; Museum Pemerintah, Peninggalan Sejarah dan Purbakala (candi, keraton, prasasti, petilasan, bangunan kuno, dsb),Pemukiman/Lingkungan Adat, Monumen, Perjudian/Kasino.[5]
b.    Terbuka dengan persyaratan adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus. Dalam Lampiran II disebutkan beberapa bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan yaitu: Bidang Pertanian, Bidang Kehutanan, Bidang Kelautan dan Perikanan, Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral, Bidang Perindustrian, Bidang Pertahanan, Bidang Pekerjaan Umum, Bidang Perdagangan, Bidang Kebudayaan dan Pariwisata, Bidang Perhubungan, Bidang Komunikasi dan Informatika, Bidang Keuangan, Bidang Perbankan, Bidang Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Bidang Pendidikan, Bidang Kesehatan, Bidang Keamanan.[6]
7.     Perselisihan sengketa
Pasal 32 UU PM yang mengatur tentang perselisihan sengketa menyebutkan:
“(1) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanaman modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase
atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanaman modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan.
(4) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanaman modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh para pihak.”
Dalam hal ini pemerintah memberikan kepastian penyelesaian sengketa kepada penanam modal ketika terjadi sengketa di kemudian hari. Peraturan diatas membuat penanam modal bisa menggunakan forum internasional dalam penyelesaian sengketa. Misal ICSID (International Center for the Settlement of Investment Disputes)
8.     Bentuk usaha perusahaan
Penanam modal dalam negeri boleh berbentuk badan usaha berbadan hukum atau bukan badan hukum. Untuk badan hukum adalah Perseroan Terbatas (PT). dan Koperasi. Bentuk bukan badan hukum adalah Firma, CV, UD, atau PD. Penanaman modal asing harus berbentuk PT. kecuali ditentukan lain oleh undang-undang, misal dibidang Migas dan Pendidikan (Pasal 5 ayat (2)). Pasal 5 ayat (3) menyatakan: “Penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroa terbatas dilakukan dnegan:
a.     Mengambil bagian saham pada saat pendirian Perseroan Terbatas;
b.    Membeli saham; dan
c.     Melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
9.     Hak atas tanah
Penanam modal dalam negeri maupun asing pasti memerlukan tanah untuk menjalankan usahanya, baik untuk pembangunan pabrik maupun menanam modal di bidang perkebunan, Pasal 22 ayat (1) UU PM menyebutkan bahwa:
“(1) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal, berupa:
a.     Hak Guna Usaha (HGU) dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh lima) tahun
b.    Hak Guna Bangunan (HGB) dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh) tahun; dan
c.      Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun”
Istilah pembaharuan hak tidak terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang mengatur hak atas tanah paling lama 35 tahun dan setelah itu dapat diperpanjang 25 tahun lagi. Pemberian HGU atau HGB sekaligus perpanjangan dan pembaharuannya tidak berarti mengubah ketentuan dalam UUPA, yang diberikan adalah jaminan untuk diperpanjang dan/atau diperbaharui.Namun Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 21-22/PUU-V/2007 menyatakan bahwa kata-kata “diperpanjang dimuka sekaligus” tidak mempunyai kekuatan hukum. Alasannya antara lain bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu Pasal 22 ayat (1) tersebut tidak berlaku lagi, dan ketentuan tentang jangka waktu HGU, HGB, dan Hak Pakai yang diperoleh investor kembali kepada ketentuan dalam UUPA.[7]


Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
Prof Erman Radjaguguk. Hukum Investasi dan Pembangunan. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012.
Kamus istilah ekonomi popular. Henricus W. Ismanthono. Penerbit Buku Kompas.
Slide mata kuliah Hukum Investasi Strata 1 Fakultas Hukum UGM oleh Prof.  M. Hawin.




[3] Kamus istilah ekonomi popular. Henricus W. Ismanthono. Penerbit Buku Kompas.
[4] Slide mata kuliah Hukum Investasi Strata 1 Fakultas Hukum UGM oleh Prof.  M. Hawin.

[5] Pasal 1 ayat (1) dan Lampiran 1 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
[6] Pasal 2 ayat (1) dan Lampiran 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2010 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.
[7] Radjaguguk, Erman, Prof., 2012, Hukum Investasi dan Pembangunan, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hlm. 120.

mencoba belajar (tugas hukum perbankan)



HUKUM PERBANKAN


1.    APA PERBEDAAN PRINSIP BANK DENGAN LEMBAGA NON BANK?
Bank
Lembaga non Bank
Bank (atau lembaga keuangan) merupakan lembaga yang memberikan jasa keuangan yang paling lengkap, yaitu terdiri dari:
-   menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan,
-   menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk pinjaman
-   serta memberikan jasa-jasa keuangan yang mendukung dan memperlancar kegiatan memberikan pinjaman dengan kegiatan menghimpun dana.[1]
Misal: bank (terutama bank umum) bisa memiliki produk simpanan berupa giro maupun tabungan, bisa memberikan kredit (KPR, KKB, Kredit usaha dan lainya), bisa juga bekerjasama dengan perusahaan asuransi dan perusahaan efek untuk menjual produknya di bank.
Kegiatan lembaga non bank (lembaga keuangan lainnya/lembaga pembiayaan) hanya berfokus pada satu bidang saja apakah penyaluran dana atau penghimpunan walaupun ada juga lembaga pembiayaan yang melakukan keduanya.
Misal:
-    Leasing (sewa guna usaha) memfokuskan pada kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa uang yang telah disepakati bersama.[2]
-    Perusahaan Anjak piutang memfokuskan pada kegiatan mengambil alih pembayaran kredit suatu perusahaan dengan cara membeli kredit bermasalah perusahaan lain atau dapat pula mengelola penjualan kredit perusahaan yang membutuhkannya.
-    Dan lainnya.

2.    MENGAPA INDUSTRI PERBANKAN MERUPAKAN HIGHLY REGULATED INDUSTRY?
Perbankan adalah industri yang berdasarkan kepercayaan yang diperolehnya dari masyarakat. Dalam pasal 4 Undang-Undang nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan “Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.” Menurut saya, pengertian diatas menunjukkan bahwa industri perbankan merupakan industri yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Sehingga untuk melindungi para pihak yang terlibat, terutama masyarakat sebagai debitur maupun sebagai kreditur bank yang perlindungan terhadap hak dan kewajibannya harus diatur secara tegas oleh Negara melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya.
Bank merupakan industri dimana uang yang digunakan mayoritas berasal dari masyarakat. Maka apabila sebuah bank mengalami kesulitan, pemilik (pemegang saham) merupakan pihak yang paling kecil mengalami kerugian. Terdapat pihak lain dalam jumlah banyak, tapi dalam nominal kecil, yang sangat rentan terhadap risiko. Selain itu, dapat menciptakan efek domino yang sangat dahsyat. Hal inilah yang mendasari undang-undang memberikan wewenang kepada Bank Indonesia, Bapepam dan lembaga lain untuk melindungi pihak “kecil” ini dan pihak lain yang berkepentingan (stakeholder). Tujuannya, agar bank dikelola dengan baik, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi kreditur dan perekonomian secara umum. Yang terakhir  disebut dengan risiko sistemik. [3]

3.    ADA BERAPA JENIS BANK? JELASKAN PERBEDAANNYA!
Bank ditinjau dari segi fungsinya menurut Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan dikelompokan menjadi:[4]
a.    Bank Sentral
b.    Bank Umum
c.    Bank Pembangunan
d.    Bank Tabungan
      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengelompokan jenis Bank terdiri dari:
a.    Bank Umum
b.    Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
      Saya akan menjelaskan tentang kedua jenis bank menurut undang-undang yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998:
Bank Umum
BPR
1)    Adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.[5]
Adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.[6]
2)    Sifat jasa yang diberikan adalah umum, yaitu memberikan seluruh jasa perbankan yang ada.[7]
Sifat jasa lebih sempit karena tidak memberikan jasa lalu lintas pembayaran.

3)    Wilayah operasionalnya bisa dibentuk diseluruh wilayah.[8]
Wilayah operasional di wilayah kecamatan. Di luar ibukota, kabupaten, kotamadya, propinsi atau ibukota negara.[9]
4)    Modal disetor untuk Bank Umum (konvesional) sebesar Rp. 3.000.000.000.000,- (tiga triliun rupiah)[10] dan untuk Bank Syariah sebesar Rp. 1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah).[11]
Modal disetor untuk BPR dengan ketentuan[12]:
a)    Rp. 5 milyar untuk DKI Jakarta
b)    Rp. 2 milyar untuk di ibukota propinsi di Pulau  Jawa dan Bali dan di wilayah kabupaten atau kotamadya Botabek;
c)    Rp. 1 milyar untuk ibukota propinsi di luar Pulau Jawa dan Bali wilayah dan di wilayah Pulau Jawa dan Bali selain wilayah butir a) dan b) di atas; dan
d)    Rp 500 juta di wilayah lain di luar wilayah sebagaimana disebut dalam butir a), b) dan c).
5)    Bentuk badan hukum Bank Umum dapat berupa: Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, atau Perusahaan Daerah (PD)[13]
Bentuk badan hukum BPR dapat berupa; Perusahaan Daerah (PD), Koperasi, Perseroan Terbatas (PT), atau bentuk lain yang ditetapkan oleh pemerintah.[14]
6)    Bank Umum boleh dimiliki WNI[15] ataupun WNA dengan penyertaan langsung secara kemitraan dengan WNI[16] dan juga WNI ataupun WNA, Badan Hukum Indonesia dan/atau Badan Hukum Asing yang membeli saham Bank Umum secara langsungdan/atau melalui bursa efek[17].
BPR hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh WNI, Badan Hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga Negara Indonesia, Pemerintah Daerah, atau dapat dimiliki bersama diantara ketiganya.[18]

4.    APA PERBEDAAN USAHA BANK KONVESIONAL DAN SYARIAH?
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat.[19] Sedangkan Bank Syariah adalah Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.[20]
Perbedaan usaha bank konvesional dan bank syariah dapat dijelaskan sebagai berikut:[21]
Bank Konvesional
Bank Syariah
Melakukan investasi baik yang halal atau haram menurut hukum Islam
Melakukan hanya investasi yang halal menurut hukum Islam
Memakai perangkat suku bunga
Memakai prinsip bagi hasil, jual-beli, dan sewa
Berorientasi keuntungan
Berorientasi keuntungan dan falah (kebahagiaan dunia dan akhirat sesuai ajaran Islam)
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kreditur-debitur
Hubungan dengan nasabah dalam bentuk kemitraan
Penghimpunan dan penyaluran dana tidak diatur oleh dewan sejenis
Penghimpunan dan penyaluran dana sesuai fatwa Dewan Pengawas Syariah
Contoh produk: Simpanan, giro, deposito, kredit dan lainnya.
Contoh produk: Al-wadi’ah (simpanan), pembiayaan dengan bagi hasil (al-musyarakah, al-mudharabah, al-muza’arah, al-musaqah)

5.    MENGAPA INDUSTRI PERBANKAN TIDAK BOLEH LANGSUNG BERUSAHA DI BIDANG PASAR MODAL DAN ASURANSI?
Larangan bank melakukan usaha di bidang pasar modal dan asuransi tertuang dalam pasal 10 huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menyebutkan: “Bank Umum dilarang: melakukan usaha perasuransian".
Menurut saya, bank umum merupakan lembaga intermediasi, yaitu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat serta menyalurkan kembali pada masyarakat yang membutuhkan dana. Untuk melindungi dana masyarakat yang terkumpul di bank umum, maka usaha yang boleh dilakukan oleh bank umum dibatasi pada usaha-usaha yang memiliki potensi kerugian kecil. Asuransi dan Pasar modal merupakan usaha dengan potensi keuntungan yang besar namun juga memiliki potensi kerugian yang besar juga (high gain, high risk). Pemerintah tidak melarang bank umum untuk memperoleh keuntungan besar dengan memberikan kesempatan kepada bank umum untuk melakukan penyertaan tidak langsung di bidang ini. Hal ini merupakan penerapan dari Pasal 7 huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang menyebutkan: “Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Umum dapat pula: b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, PERUSAHAAN EFEK, ASURANSI, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia".


[1] Tertuang dalam Pasal 1 Angka 2 tentang pengertian Bank. Selain itu juga disadur dengan pemahaman sendiri dari: Kasmir, S.E., M.M., 2005,, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, hlm. 4.
[2] Kusuma, Afandi, 18 Mei 2009, http://afand.abatasa.com/post/detail/2656/leasing-sewa-guna-usaha--pengertian tanggal akses 28 Februari 2012.
[3] Simatupang, Lando, 2 Februari 2012, http://bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=2595:mengapa-bank-sangat-diatur-highly-regulated&catid=69:manajemen-risiko&Itemid=102 tanggal akses 28 februari 2012.
[4] Kasmir, S.E., M.M., 2005, hlm. 32
[5] Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
[6] Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Perbankan
[7] Kasmir, S.E., M.M., 2005, hlm. 32
[8] Ibid.
[9] Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat
[10] Pasal 7 huruf a Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/15/PBI/2005 tentang Jumlah Modal Inti Minimum Bank Umum.
[11] Pasal 7 huruf b Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/15/PBI/2005
[12] Power Point Mata Kuliah Hukum Perbankan dan Lembaga Keuangan Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M. tanggal 27 Februari 2012.
[13] Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Perbankan
[14] Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Perbankan
[15] Pasal 22 ayat (1) huruf a Undang-Undang Perbankan
[16] Pasal 22 ayat (1) huruf b Undang-Undang Perbankan
[17] Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perbankan
[18] Pasal 23Undang-Undang Undang-Undang Perbankan
[19] Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
[20] Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Perbankan Syariah
[21] http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah